Senin, 30 Desember 2013

Busway: Pengendalian Perilaku Berkendara Warga Jakarta



Jakarta saat ini  menghadapi permasalahan yang kerap terjadi di kota-kota besar dunia, yaitu permasalahan kemacetan dan terbatasnya transportasi massal dengan kualitas prima. Hasil studi terkini, telah menunjukkan betapa kronisnya permasalahan transportasi di Indonesia terutama kaitannya dengan emisi gas rumah kaca dan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan pembangunan busway di tahun 2003 dimulai dari koridor I yang mencakup jalur Blok M-Kota. Pembangunan pilot busway yang dimulai dengan pro-kontra pada akhirnya dinilai oleh banyak pihak sebagai salah satu program yang dianggap sukses dilaksanakan oleh Pemprov DKI dan segera dilanjutkan dengan realisasi pembangunan busway di koridor lain sebagai bagian dari rencana peningkatan kualitas transportasi massal di DKI Jakarta
Pada tahun 2008, dari data yang diperoleh BLU Transjakarta, jumlah pengguna bus transjakarta di koridor I setiap harinya mencapai angka 200 ribu orang. Angka ini merepresentasikan jumlah pengguna kendaraan pribadi dan umum yang berpindah moda dengan bus transjakarta. Yang kemudian perlu didalami dari data tersebut adalah seberapa signifikan perubahan moda tersebut diikuti oleh perubahan perilaku transportasi warga kota dan besarnya dampak terhadap pengurangan kemacetan di wilayah Jakarta sekitarnya.
Darmaningtyas (2008) mengatakan pendidikan publik yang mampu mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum massal itu sekarang penting untuk dilakukan, sebab tanpa ada kesediaan untuk mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, kemacetan di Jakarta tidak mungkin teratasi. Busway merupakan salah satu solusi yang paling realistis diterapkan di Jakarta saat ini, karena selain biaya investasinya kecil, kapasitas angkutnya bila dimaksimalkan dapat melebihi subway.
Keberadaan Busway, baik koridor  I ataupun koridor lainnya, telah membentuk wajah kota Jakarta beberapa tahun terakhir. Keberadaan Busway membuat Jakarta mendapatkan kembali citranya sebagai kota Metropolitan terkemuka di dunia, dimana keberadaan sistem Mass Rapid Transport (MRT) menjadi salah satu kriterianya.
Busway tidak hanya menjadi alat mengurangi kemacetan, tetapi menjadi infrastruktur yang mampu merubah kebiasan berperilaku warga Jakarta dalam berkendara. Didalam penggunaannya Busway memiliki beberapa ketentuan yang membutuhkan kerjasama dan kedisiplinan warga Jakarta dalam melaksanakannya. Ketentuan tersebut secara gradual mempengaruhi kebiasaan dan perilaku warga Jakarta dalam penggunaan kendaraan umum (Public Transport)
Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat dikatakan Busway selain memiliki fungsi memperlancar aksesibilitas warga kota juga memiliki fungsi pengendali (control) kebiasaan warga kota. Busway dapat disebut sebagai bentuk manifestasi pengendalian Pemerintah Provinsi DKI terhadap pola transportasi warganya.

Busway:   Alternatif Moda Transportasi Massal Jakarta
Menurut Hudalah (2010), MRT (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi dan kecepatan yang sangat tinggi (rapid). Selain itu ada juga yang mendefinisikan sebagai pilihan transportasi yang memiliki kapasitas dan frekuensi tinggi dan memiliki jalur yang terpisah dari moda transportasi lainnya. Pemisahan jalur ini dapat berupa jalur tersendiri, jalur rel, roda terpadu ataupun jalur medan magnetic. (APTA, 1994)
Secara umum Mass Rapid Transit dapat dikategorikan sebagai berikut:
Kategori
Klasifikasi
Kapasitas
Teknologi
Bus
Busway
Guided Bus
·  Guided Rubber tyres
·  Magnetic Guidance
·  Optical Guidance
300 penumpang
Jarak berkisar ± 10 - 20 km
Hybrid electric Busses
Fuel Cell Busses
Electric Busses
CNG Busses
Bio Diesel Busses
Monorel
Small type
Medium Type
Large Type
150 – 600 penumpang
Jarak berkisar 15 – 30 km
Magnetic Levitation (maglev)
Light Train
Kereta dengan maksimal 1 – 4 gerbong
200 orang/gerbong sekitar 800 penumpang

Jarak berkisar 20 – 50 km
Berbasis rel dapat melayang diatas tanah maupun di bawah tanah karena sedikit tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit
Heavy Train
Kereta dengan jumlah gerbong lebih dari 5 - 10
200 orang / gerbong sekitar 1.000 – 10.000 penumpang dengan jarak lintasan > 60 km
Berbasis pada jaringan rel yang menggunakan tenaga listrik yang cukup besar

BRT adalah satu bentuk angkutan umum massal yang berorientasi pelanggan dan mengombinasikan stasiun, kendaraan, perencanaan dan elemen-elemen sistem transportasi pintar ke dalam sebuah sistem yang terpadu dan memiliki satu identitas unik.
Secara umum, BRT mempunyai ciri-ciri: memiliki koridor busway pada jalur terpisah-sejajar atau dipisahkan secara bertingkat-teknologi bus yang dimodernisasi, menaikkan dan menurunkan penumpang dengan cepat dan di tempat tertentu, penarikan ongkos melalui ticketing system (bukan oleh kondektur atau sopir), halte dan stasiun yang nyaman, teknologi bus yang bersih, integrasi antarmoda, dan layanan pelanggan yang sangat baik. Fenomena BRT ini berkembang di Amerika Latin, dimulai dari Curitiba (Brasil), kemudian diadopsi dengan mengalami penyempurnaan desain maupun manajemen oleh Wali Kota Bogota (Colombia) Enrique Penalosa
Busway, yang arti sesungguhnya adalah jalur khusus bus, di Jakarta berubah menjadi identitas atau nama moda transportasi umum massal yang melaju di jalur khusus dan dikelola oleh Badan Layanan Umum Transjakarta. Untuk konteks kota Jakarta, sebutan busway memiliki dua makna,yaitu menyebut “busway” saja, berarti itu sebagai suatu sistem, jalur khusus bus dan menyebutkan Busway Transjakarta, berarti itu nama perusahaan atau identitas diri moda angkutan massal di Jakarta yang melaju di jalur khusus bus.
Keberadaan busway selama 8 tahun terakhir telah menjadi gaya hidup baru warga kota, yang semula berkutat pada angkutan umum konvensional seperti angkot, bus kopaja, patas dan lain sebagainya beralih menggunakan busway sebagai model MRT yang cukup banyak digunakan di kota-kota Dunia.
Jumlah Penumpang Rata-Rata Bus Transjakarta 2004-2009

Jumlah Penumpang
Rata-rata bulanan
Rata-Rata Harian
Jumlah Koridor
Panjang Trayek
2004
15. 942.423
1.328.535
43.678
1
12,9
2005
20.798.196
1.733.183
56.981
1
12,9
2006
38.828.036
3.235.670
106.378
3
45,9
2007
61.439.961
5.119.997
168.329
7
97,4
2008
74.619.995
6.218.333
204.438
7
97,4
2009
83.205.397
6.933.783
227.960
8
123,4
  Sumber BLUD Jakarta, 2010
Kemacetan di Kota Jakarta menurut penelitian yang dilakukan oleh Intrans (2008) dalam Daramningtyas (2010) selain disebabkan oleh tingginya volume kendaraan di Kota Jakarta, juga disebabkan oleh perilaku berkendara warga Kota Jakarta pada umumnya, terutama kendaraan umum. Perilaku diartikan sebagai aktivitas manusia berupa tindakan dalam rangka memberikan reaksi terhadap rangsangan (stimulus) yang diterimanya, dapat berasal dari luar (lingkungan) maupun dari dalam diri manusia itu sendiri (Puspita, 2007).
Kebiasaan menghentikan kendaraan umum di sembarang tempat, berpindah-pindah jalur , keengganan untuk mengantri, kecenderungan menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum dan lain sebagainya merupakan gambaran umum perilaku transportasi warga Jakarta Ketentuan-ketentuan yang diterapkan dalam penerapan busway di Jakarta, beberapa memiliki benturan dengan perilaku berkendaraan pada umumnya di Jakarta.
Keberadaan busway selama 8 tahun terakhir mampu merubah perilaku berkendaraan warga kota Jakarta walau belum signifikan berdampak pada pengurangan kemacetan. Perubahan tersebut secara sistematis dan terstruktur di rencanakan oleh Pemprov DKI. Perubahan budaya melalui intervensi struktural merupakan fenomena yang nampak dari pembangunan busway oleh Pemprov DKI Jakarta.  
Busway merupakan manifestasi dari rencana Pemerintah DKI Jakarta untuk mengendalikan pola dan perilaku berperjalanan dari warga kota. Hal ini diwujudkan kemudian baik dalam pembangunan infrastruktur fisik busway, pembenahan tata kelola transportasi, mekanisme disinsentif dalam penggunaan busway oleh kendaraan pribadi, dan beberapa langkah lainnya.  

Busway: Mekanisme Kendali  Perilaku Bertransportasi Warga Kota
Berdasarkan Teori Good City Form, Kevin Lynch (1981) menjelaskan bahwa suatu kota dapat dikatakan memiliki bentuk yang baik, apabila kota tersebut memenuhi kriteria vital,sensible, well fittedaccessible, dan well controlled. Masing-masing kriteria harus sejalan dengan nilai Efficiency & Justice, yang disebut sebagai Meta Kriteria. 
Kriteria kontrol dimaksudkan untuk menata, menjaga dan mengawasi warga dan lingkungannya sehingga dapat mencapai tujuan kota yang ideal yaitu keberlanjutan kota itu sendiri. Kontrol tidak selalu dilakukan oleh Pemerintah terhadap warganya, akan tetapi bisa juga terjadi sebaliknya melalui serangkaian kebijakan dan strategi tertentu sesuai dengan problematika wilayah.
Tujuan utama pembangunan busway pada awalnya adalah untuk mengubah perilaku berkendara dengan moda kendaraan pribadi (mode shifting) menjadi menggunakan busway sebagai kendaraan utama dalam beraktivitas. Hingga saat ini menurut survey yang dilakukan YLKI  (2008) disebutkan baru 21 persen pengguna kendaraan pribadi yang telah berganti moda menggunakan busway
Busway sebagai moda transportasi massal adalah bentuk pengendalian Pemerintah terhadap warganya dalam pola melakukan perjalanan didalam kota. Terdapat beberapa elemen pengendali yang diterapkan dalam busway yang berdampak pada perubahan perilaku berkendara di Kota Jakarta,diantaranya;
No
Elemen
Keterangan
1
Jalur Khusus bus (busway).

Salah satu ciri khas dari keberadaan BRT adalah adanya jalur yang dibangun dan didedikasikan untuk bus. Di Jakarta pola penggunaan yang dilakukan adalah busway diperuntukkan untuk bus transjakarta saja dan dibatasi oleh separator yang tinggi sehingga kendaraan pribadi atau kendaraan umum lainnya tidak memungkinkan untuk menggunakan jalur tersebut. Keberadaan jalur khusus bus memungkinkan bus transjakarta berjalan dengan lancar di tengah-tengah kemacetan Jakarta
Permasalahan yang kemudian timbul adalah adanya pertentangan penggunaan ruang jalan antara kendaraan bus transjakarta dengan kendaraan pribadi dan kendaraan umum lainnya. Hal ini umumnya terjadi di ruas jalan yang memiliki lebar tidak mencukupi dan volume kendaraan tinggi. Perebutan ruang publik di Jalan Raya  seringkali menyebabkan konflik kendaraan bahkan kecelakaan
Untuk menghindari konflik yang terjadi, maka Pemerintah Provinsi DKI dan BLUD Transjakarta menerapkan beberapa peraturan terkait kendaraan yang masuk ke jalur bus, seperti pemasangan pagar pembatas di jalur awal bus, penempatan staf penjaga di setiap jalur yang terbuka, pengenaan tilang untuk kendaraan yang masuk ke jalur bus.
Mekanisme tersebut merupakan instrumen pengendali sekaligus pendidikan kepada publik untuk membedakan jalur bus dengan jalur lainnya. Melalui instrumen tersebut diharapkan adanya peningkatan kesadaran dari warga kota mengenai fungsi dari Jalur bus dan mampu menjadi bagian dari keseharian kota
2
Halte.

Halte bus sesuai dengan standar BRT memiliki beberapa ketentuan dasar yang harus dipenuhi,diantaranya
-        Lokasi ditentukan oleh pengelola bus dengan jarak tertentu sesuai dengan karakter rute
-        Penumpang naik dan turun di halte yang ditentukan.
-        Kondisi fisik halte harus bersih dan nyaman, termasuk untuk keperluan  mengantri calon penumpang
Karakter halte busway cenderung tidak sejalan dengan perilaku warga Jakarta pada umumnya dan kondisi halte buskota di Jakarta. Kebiasaan untuk turun di sembarang tempat, kotornya halte bus kota, dan budaya antri yang minim diharapkan dapat berubah melalui sistem halte yang diterapkan oleh bus transjakarta
Penerapan sistem halte statis pada bus transjakarta merupakan implementasi dari pengendalian kebiasaan-kebiasaan yang umum terjadi oleh warga Jakarta dalam bekendaraan umum. Warga Jakarta “dipaksa” untuk merubah kebiasaan berhenti di sembarang tempat ketika berkendaraan umum. Halte di sistem busway bisa dikatakan sebagai bentuk rekayasa sosial yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kedisiplinan warga Jakarta. Selain itu bentuk fisik halte dengan tingkat kebersihan dan kenyamanan dengan standar tertentu, memungkinkan untuk melakukan antrian bus dengan lebih nyaman dan tertib.
3
Sistem ticketing dengan mekanisme tariff flat.

Didalam pelaksanaan bus transjakarta, pengelola menerapkan sistem ticketing dengan tarif flat. Hal ini berbeda dengan kendaraan bus pada umumnya di Jakarta yang menggunakan kondektur dan uang tunai sebagai alat transaksi. Pemberlakukan sistem tiket ini ditujukan agar mengurangi kebocoran dalam lingkup bisnis bus transjakarta.
Selain itu dengan pemberlakuan mekanisme flat maka warga kota diberikan mekanisme insentif dan disinsentif untuk dalam memilih moda transportasi yang diinginkan dalam menuju satu tempat. Selain itu harga flat dengan mekanisme subsidi akan memastikan seluruh warga kota Jakarta dapat memiliki akses untuk menggunakan bus transjakarta karena harga tiketnya yang terjangkau. Hal ini sejalan dengan metakriteria efisiensi dan keadilan yang diperkenalkan oleh Lynch. Pembangunan infrastruktur baru dan modern tidak harus selalui diikuti oleh pengenaan tariff yang mahal dan membatasi aksesibilitas warganya terhadap infrastruktur tersebut.

Sumber: Hasil analisa, 2011

Kevin Lynch menyampaikan seluruh kriteria terkait dengan bentuk kota harus bisa dikaitkan dengan meta kriteria yang itu efisiensi dan keadilan sebagai pembanding. Karena tujuan sebuah kota dibangun sejatinya memberikan aspek keadilan kepada seluruh warganya tanpa melupkan aspek efisiensi terutama terkait dengan biaya yang dihasilkan dari bentuk kota,baik biaya finansial, sosial ataupun lainnya.  Untuk itu maka dirasakan perlu untuk melakukan penilaian terhadap Busway sebagai aspek Pengendalian perilaku warga dan dikaitkan dengan aspek keadilan dan efisiensi.

No
Elemen
Keadilan
Efisiensi
1
Jalur Khusus Bus
Terjadi pertentangan dalam penggunaan ruang jalan antara kendaraan pribadi dan bus mengindikasikan adanya pembatasan  yang dapat mengurangi aspek keadilan.
Tetapi disisi lain kondisi ini diperlukan untuk memberikan disinsentif kepada pengguna kendaraan pribadi sehingga berpindah menggunakan busway sebagai moda transportasi
Melihat aspek keadilan pada penggunaan jalur khusus bus di jalan raya sangat ditentukan dari perspektif yang digunakan dalam melihat jalan sebagai barang publik, semi publik atau privat.

Keberadaan jalur khusus pada beberapa ruas jalan menimbulkan permasalahan kemacetan yang lebih tinggi di jalur umum dibanding sebelumnya, seperti di ruas jalan HR. Rasuna Said, Mampang, Pondok Indah, dan beberapa ruas lainnya.
Kemacetan yang ditimbulkan dari sisi pengguna kendaraan pribadi akan menambah biaya yang dikeluarkan seperti waktu dan bahan bakar.

2
Halte
Keberadaan halte yang ditentukan lokasinya seringkali menimbulkan permasalahan dari sisi pengguna, seperti
1.     Lokasi halte relatif bukan merupakan lokasi dimana perpindahan moda dapat dilakukan. Hal ini menyulitkan pengguna sehingga kesulitan untuk melakukan transfer moda
2.     Beberapa halte busway tidak dilengkapi sarana prasaran yang memungkinkan untuk kaum difabel dalam menggunakan fasilitas tersebut
3.     Keberadaan halte seringkali tidak didukung oleh keberadaan feeder sehingga proses peralihan moda dan jalur menjadi tidak mudah.
Melihat situasi-situasi diatas, maka dapat disimpulkan keberadaan halte busway tidak mencerminkan aspek keadilan dalam penempatannya ataupun fasilitas yang disediakan
Penentuan lokasi halte dilakukan melalui studi yang pernah dilaksanakan oleh Pemerintah DKI pada saat merencanakan jalur busway
Pada beberapa lokasi, penempatan halte justru membuat biaya yang dikeluarkan oleh pengguna menjadi semakin tinggi disebabkan lokasi antara satu halte dengan halte lain yang relatif jauh dan tidak mendekati pusat-pusat kegiatan.
Tingkat efisiensi penempatan halte busway menjadi rendah tatkala biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan busway menjadi lebih besar daripada tidak menggunakan busway.
Langkah mengadakan feeder busway di rute 1 Sentra Primer Barat-Daan Mogot, rute 2 Tanahabang-Balaikota dan rute 3 Sudirman Central Bisnis Distrik (SCBD)-Senayan merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan efisiensi keberadaan halte di jalur-jalur tersebut.
3
Sistem ticketing dengan mekanisme tariff flat.
Harga yang relatif terjangkau menjamin akses masyarakat dari berbagai golongan ekonomi mampu mengakses busway sebagai pilihan moda transportasi ibukota
Hal itu dimaksudkan sebagai insentif kepada para pengguna busway untuk tidak berpindah moda lagi ke kendaraan pribadi.

Tarif tiket busway yang tidak berubah semenjak pertamakali dilincurkan dari tahun 2003, menimbulkan permasalahan bisnis dari operator BLUD transjakarta. Harga tersebut tidak mencerminkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh operator. Hal ini kemudian mempengaruhi kualitas layanan seperti kondisi bus, halte dan   lain sebagainya.
Banyak pihak menilai perlu dilakukan penyesuaian harga yang mencerminkan biaya produksi yang dikeluarkan dan memperhatikan aspek willingness to pay dari para pengguna busway
Sumber: Hasil analisa, 2011


Tantangan ke Depan
Berdasarkan pengamatan terhadap bus transjakarta atau lebih dikenal oleh busway maka moda tersebut dapat dinilai sebagai mekanisme pengendalian warga kota oleh Pemerintah dalam berkendara umum. Pengendalian tersebut dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan transportasi kota Jakarta yang selain disebabkan oleh permasalahan teknis, juga disebabkan oleh persoalan perilaku berkendara warganya.
Pembangunan bus transjakarta secara visual merubah bentuk dan wajah kota Jakarta. Selain itu bus transjakarta pun merubah perilaku warga kota secara sadar ataupun tidak sadar. Perilaku ketidakdisiplinan dalam berkendara secara bertahap berkurang dengan adanya pola baru berkendaraan umum melalui bus transjakarta.
Terdapat beberapa tantangan yang harus diantisipasi dalam pengembangan bus transjakarta apabila dikaitkan dengan kriteria Pengendalian perilaku berkendara,diantaranya
1.     Instrumen-instrumen pengendalian yang ditujukan untuk menegakkan peraturan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan BRT harus dijalankan dengan konsisten oleh operator bus transjakarta. Ketidakkonsistenan dapat menyebabkan aspek pengendali dianggap sebuah rutinitas dan tidak mampu mempengaruhi perilaku warga kota itu sendiri. Hal ini pada akhirnya akan menurunkan tingkat layanan dari bus transjakarta itu sendiri.
2.     Peningkatan kualitas dari bus Transjakarta dinilai banyak pihak akan mempengaruhi terhadap tariff yang diberlakukan oleh pengelola. Diskusi mengenai kenaikan harga telah bergulir sejak tahun 2007. Memperhatikan kondisi sarana prasarana yang saat ini berjalan, maka kenaikan harga mungkin sesuatu yang diperlukan sehingga BLUD dapat meningkatkan skala bisnisnya. Hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan kebijakan tariff adalah aspek keadilan dan efisiensi sebagai prinsip utama dalam menjamin aksesibilitas warga kota terhadap bus.  
3.     Aspek Pengendalian seringkali menyebabkan warga kota menjadi entitas yang teralienasi dengan instrument pengendali. Di Indonesia pengendalian sering disalah artikan sebagai pemaksaan kepentingan penguasa terhadap warganya. Dalam konteks bus transjakarta, mekanisme Pengendalian tidak dapat dilakukan dengan hanya mengadakan perangkat-perangkat fisik seperti rambu atau petugas jaga. Pengendalian harus disertai dengan kampanye publik sehingga terbangun kesadaran publik (public awareness) mengenai fungsi transjakarta sebagai alternatif baru dalam penanganan permasalahan transportasi di Kota Jakarta.

Referensi
1.   Darmaningtyas. 2008. Keliling Jakarta Naik Busway. Artikel pada Koran Kompas 17 Februari 2008
2.   Darmaningtyas. 2010. Transportasi di Jakarta:Menjemput Maut. Pustaka Yashiba, Jakarta
3.   Hudalah, Delik dan Yudistira Pratama. 2010. MRT: Angkutan Perkotaan Masa Depan?, Buletin Tata Ruang edisi September – Oktober 2010, Jakarta
4.   Lynch, Kevin. 1984.Good City Form. MIT Press, Cambridge MA and London
5.   Rini, Indri Nurvia Puspita. 2007. Analisis Persepsi Penumpang Terhadap Tingkat Pelayanan Busway. Tesis pada Program Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang.

Sabtu, 28 Desember 2013

Krisis Literatur Sejarah Kota Indonesia


Saat ini saya sedang melakukan penelitian terhadap kota Sawahlunto sebagai bagian dari tesis saya. Untuk itu saya harus melakukan penelusuran terhadap dokumentasi tertulis ataupun pengamatan terhadap artefak yang masih tersisa di kota tersebut. Wawancara terhadap orang-orang yang pernah tinggal di Sawahlunto pun saya lakukan. Untuk sebuah kota yang baru berumur kurang dari 150 tahun yang berdiri di jaman modern, pencarian dokumentasi  pun terasa sangat  sulit apalagi kemudian saya mengalami kendala bahasa. Iya kendala bahasa, karena sebagian besar literature kunci yang saya temukan menggunakan bahasa Belanda…

Situasi ini kemudian saya refleksikan kepada perjalanan sejarah kota-kota lain di Indonesia. Sulit bagi saya sebagai penggemar urban area untuk mengetahui sejarah kota-kota di Indonesia terutama yang ada di jaman sebelum kolonial. Informasi yang valid dan bisa diandalkan sangat sulit didapatkan untuk kita mendapat gambaran mengenai kehidupan berkota di Indonesia. Pada salah satu literature yang ditulis oleh Orang Belanda (yang saya lupa namanya) “Kota di Indonesia adalah manifestasi fisik dari pengabdian kepada Dewata”. Berdasarkan hal tersebut saya tentunya membayangkan kota-kota di Indonesia pada masa lalu tentunya memiliki keindahan yang baik di jamannya. Sayangnya informasi mengenai itu sangat minim sekali..

Contohnya Kota Majapahit.. Saya pernah berdebat panjang dengan rekan saya di Kantor mengenai “apa benar Majapahit sebesar sebagaimana yang diceritakan?”. Menurut teman saya yang arsitek itu, tidak ada bukti fisik atau pun sumber informasi tertulis yang bisa dipercaya mengenai kehebatan Majapahit. Bahkan artefak yang ada di trowulan sekarang masih diperdebatkan oleh para ahli sejarah mengenai kebenaran posisi Kota Majapahit sebagaimana yang disebutkan tadi. Kita saat ini hanya mengandalkan tulisan Empu Prapanca dalam Negara Kertagama. Secara bebas kita bisa berpendapat apakah tulisan dan kredibilitasnya bisa kita percaya.. saya bukan ahli sejarah jadi saya tidak mau menjawab pertanyaan itu.

Contoh lain adalah keberadaan kerajaan Siliwangi. Saat ini keberadaan kerajaan tersebut mengandalkan prasasti dan dokumentasi yang amat terbatas dari para petualang Cina. Hingga saat ini tidak ada bukti fisik mengenai keberadaan pusat kerajaan Siliwangi yang tentunya kita bayangkan sebagai urban Area dan informasi mengenai siliwangi yang lengkap yang berasal dari literatur yang ditulis pada jaman itu…

Hal ini kemudian menggugah pemikiran saya.. ada apa dengan sejarah kota kita? Apa yang terjadi. Kenapa mengetahui sejarah kota, asal muasal kita, jati diri kita menjadi hal yang sulit sekali.. Salah satu professor di Kampus saya berkata kalau memang ingin mengambil Doktor soal kota di Indonesia harus bisa 2 bahasa lain selain bahasa Inggris dan Indonesia. Karena data dan informasi yang lengkap pasti dalam bahasa asing dan tersimpan rapi diperpustkaan di Amerika dan Eropa.
Kota sebagai bagian dari permukiman sebagian besar  terbentuk adanya kepentingan yang perlu di akomodir, seperti keagamaan, perniagaan, pusat pendidikan dan lain sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu fungsi-fungsi awal dapat berkembang sesuai dengan perubahan kebutuhan kota dan warganya dari masa ke masa. Melakukan intrepetasi perubahan fungsi kota dan perkembangannya telah menjadi topik yang menjadi bidang riset oleh berbagai bidang keilmuan dari tahun ke tahun. Setiap orang ataupun ahli memaknai perkembangan kota berdasarkan masing-masing pengalaman yang dialami saat berinteraksi dengan lingkungan perkotaan serta banyak dipengaruhi oleh dimensi keimuan atau ideologi yang melatarbelakangi

Pemahaman sederhana saya terhadap situasi ini adalah; Pertama budaya literer bangsa ini yang masih sangat rendah. Mungkin orang antropolog yang bisa menjelaskan kepada saya kenapa hal ini terjadi di masa lalu. Hal yang sama di Mesir dan Cina kenapa tidak terjadi di Indonesia apabila dikaitkan dengan konteks budaya aksara dan menulis. Akhirnya pada masa itu orangmerasa tidak perlu melakukan dokumentasi yang rapi mengenai peristiwa dan momen sejarah kerajaan dari waktu ke waktu. Akhirnya pun kita semua meraba-raba.

Yang kedua saya rasa (perasaaan loh bukan data) hal ini dapat dikaitkan dengan pola-pola ekspansi ataupun agresi militer yang dilaksanakan oleh Kerajaan masa lalu. Saat sebuah kerajaan mengalami kemunduran sehingga dinyatakan diakuisisi oleh Kerajaan lain (baik paksaan atau sukarela), maka hal itu diikuti dengan migrasi besar-besaran penduduk keluar dari kotapraja ataupun pembumi hangusan wilayah beserta seluruh artefaknya.

Lalu bagaimana dengan sekarang? Tentunya hal yang separah itu tidak akan terjadi karena tentunya kemajuan informasi dan teknologi memungkinkan kita menyimpan data di cloud computing. Sehingga rekaman peristiwa hingga 20 tahun ke belakang dapat dengn mudah diakses. Problemnya dengan minimnya kapasitas budaya literer orang Indonesia media yang ada mungkin kurang dioptimalkan.

Kita perlu melakukan kajian lebih banyak lagi mengenai kota-kota di Indonesia. Budaya literer menjadi garada terdepan dari proses kajian dan dokumentasi Sejarah kota di Indonesia. Karena apabila mengacu pada pendapat sebelumnya. Pembangunan dan arah trend kota sangat ditentukan sekali dengan konteks dan ideologyi yang saat itu  berkembang. Maka memahami sejarah kota memberikan informasi mengenai keyakinan bersama yang saat itu dibentuk antara pimpinan dengan kawulannya. Akhirnya memberikan pemahaman mengenai budaya dan asal usul kita berada.

Studi mengenai perkembangan kota-kota di Indonesia sangat menarik disebabkan kota di Indonesia memiliki spektrum sejarah yang sangat bervariasi yang sangat ditentukan oleh karakter geografis wilayah, kondisi sosial politik yang terjadi dan sumber daya yang dimiliki. Keberadaan kota di Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai pusat peradaban masyarakat dimana inovasi dan pembangunan bergerak Peta politik, perkembangan ideologi  dan kemajuan ilmu pengetahuan memiliki pengaruh dalam membentuk keberadaan ruang-ruang kota di Indonesia. Hal ini seperti yang digambarkan oleh Frisby (2007)[1] sebagai “ city was not a spatial entity with sociological consequences, but a sociological entity that is formed spatially”. Karakter kota-kota di berbagai penjuru Nusantara terbentuk berdasar kepada pengalaman ruang yang dialami oleh masyarakat dan wilayah. Interaksi antara kepentingan ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan termanifestasi dalam ruang-ruang yang ada dalam kota

Saat ini saya sedang mengembangkan sebuah ide untuk meningkatkan sumber informasi dan dokumentasi mengenai kota-kota di Indonesia. Sehingga apa yang kemudian menjadi urban legend atau myth menjadi urban information yang valid dan bisa dipergunakan bersama. Medianya bagaimana? Saya sedang cari ide segar…

Saya berpendapat apa yang terjadi saat ini tidak mungkin lepas dari konteks apa yang dilalui di masa lalu. Tentunya ada hal-hal yang berubah terkait dengan teknologi, akan tetapi perilaku warga dan perilaku ruang tentunya memiliki pakem sendiri yang berasal dari Sejarah panjang sebuah kota

-catur-
(belajar jadi) Pemerhati Kota


[1]Frisby, D. 2007.City Scapes of Modernity. Cambridge; Polity.

Minggu, 22 Desember 2013

Konsep Warga Kota di era E-Democracy

Warga Kota dan Demokrasi
Warga kota sebagai elemen penting dari kota merupakan satu pendapat yang sulit dibantah. Perkembangan sebuah kota dari masa ke masa dibentuk oleh interaksi dan komunikasi antar warga baik secara individual ataupun kelompok. Pola hubungan antar warga kota yang kemudian secara perlahan membentuk pola ruang dan hubungan antar komponen pada sebuah kota dapat menentukan wajah kota dari masa ke masa
Perkembangan masing-masing kota dapat berbeda yang disebabkan oleh pola interaksi yang dibangun dan kondisi masyarakat yang berbeda-beda di masing-masing daerah. Max Webber (1985) menyebutkan bahwa kota dibentuk oleh proses perkembangan kapitalisme dan merkantilisme, khususnya dalam bentuk hubungan perdagangan yang secara perlahan-perlahan membentuk kelembagaan ekonomi dan politik di kota tersebut.
Dalam perspektif yang disampaikan Max Webber terdapat tiga konsep warga (citizenship), yaitu
  • Warga sebagai kelompok inklusif dari dari kelompok sosial yang didefinisikan melalui kesamaan kepentingan ekonomi. Pada perspektif ini, Webber menerangkan bahwasanya pembagian kelompok warga terdiri pada hak kepemilikan yang dimiliki. Hak-hak khusus warga ditentukan oleh kepemilikan properti. Konsep ekonomi warga berasal dari pengamatan Webber pada masyarakat di jaman pertengahan. Hubungan antar warga terdefinisi sebagai hubungan penyedia pekerjaan dan pekerja.
  • Kewarganegaraan dalam konteks politik yang menitikberatkan keanggotaan dalam sebuah Negara, yang berkonotasi  kepemilikan hak politik tertentu.  Konsep ini merupakan fondasi dasar dalam memahami politik kewarganegaraan dimana sekelompok orang memiliki hak-hak khusus dalam melakukan tindakan-tindakan politik, seperti pemilihan perwakilan dan keputusan lainnya. Biasanya hak ini diberikan pada laki-laki di era Yunani Kuno.
  •     Kewarganegaraan merujuk pada kelas Sosial yang dibedakan menurut dari orang yang dianggap memiliki kelebihan property dan kebudayaan untuk membedakannya dari birokrasi atau kelas rendah dan kelompok lain di luar lingkaran
Konsepsi warga secara politik, ekonomi dan sosial yang di rumuskan oleh Max Webber didapatkan dari pengamatannya terhadap sejarah kota-kota  Jaman Kuno dan Pertengahan di Eropa. Pada masa tersebut predikat warga mengikuti hak-hak khusus yang diberikan kepada sekelompok orag atau individu yang memiliki kelebihan baik secara ekonomi, sosial ataupun politik. Hak-hak tersebut biasanya terkait dengan hak-hak politik pada awalnya seperti hak untuk memiliih dan dipilih, dan lain-lain.
Konsepsi warga kota merujuk pada  kepemilikan atau keanggotaan yang menunjukkan hubungan antar kota dan individu yang ada didalamnya, dengan adanya keanggotaan tersebut maka diikuti oleh hak-hak politik terutama terkait dengan hubungan warga dan birokrasi. Warga kota memiliki hak-hak secara politis untuk mengintervensi setiap keputusan yang di susun oleh birokrasi kota, kalau dalam konteks yang disampaikan oleh Webber dalam bentuk keterwakilan.
Berdasarkan teori tersebut, maka tampak jelas peran vitalnya warga kota dalam menentukan arah kebijakan pembangunan sebuah kota. Prinsip keterwakilan suara warga dalam penyusunan kebijakan di era demokrasi saat ini sesuatu yang tidak mungkin di pinggirkan.
Warga kota selain memiliki hak, juga pula memiliki kewajiban. Kewajiban untuk mengikuti norma dan peraturan yang berlaku pada sebuah kota. Hak-hak yang diberikan pada warga kota merupakan  sesuatu yang tidak dipisahkan dari keharusan mengikuti norma-norma yang menyatu denganya.
Berdasarkan konsepsi yang disampaikan Webber, maka dapat dipastikan pembangunan kota tanpa mengikutsertakan atau memahami keinginan warga tidak mungkin dapat dicapai dengan optimal. Kota-kota besar Dunia muncul sebagai pusat peradaban, teknologi, budaya, religi, ekonomi dan lain sebagainya banyak berasal dari pembangunan yang memperhatikan kebutuhan, aspirasi dan karakter warganya. Tidak dalam bentuk partisipasi simbolik yang muncul dalam demokrasi prosedural, tetapi partisipasi proposional yang berasal dari implementasi demokrasi substantif.
Jo Santoso (2002) berpendapat bahwa saat ini pengembangan kota-kota di Indonesia tidak memperhatikan warga sebagai elemen utama dalam melaksanakan pembangunan. Warga kota saat ini disederhanakan menjadi angka-angka statistik yang menjadi justifikasi teknokratis dalam melaksanakan Perencanaan. Beliau juga mengemukakan bahwasanya konsep kota modern harus mampu memperkenalkan ruang privat dan ruang publik yang penggunaannya ditentukan secara bersama. Ruang publik yang terbuka menjadi sarana untuk menyemai tenggang rasa, toleransi, serta menghidupkan sisi keberadaban manusia.
Kota sebagai representasi dari kebudayaan sebuah Negara atau wilayah kemudian tidak memunculkan karakter warganya. Yang kemudian muncul ke permukaan adalah karakter kota yang merupakan representasi dari kepentingan kapitalisme dan globalisme. Hak-hak warga kota kemudian dibatasi pada keterwakilannya oleh anggota-anggota DPRD. Partisipasi warga terbatas pada dialog satu arah berbentuk papan iklan atau media sosialisasi dalam bentuk pertemuan warga prosedural. Hak-hak politik yang diberikan oleh birokrasi kota lebih bersifat seremonial.
Kondisi dan situasi yang kemudian menyebabkan masyarakat perkotaan di Indonesia, terutama kota-kota besar, menciptakan ruang-ruang baru untuk menyalurkan aspirasi dan hak politiknya. Ruang partisipasi seperti Seminar, kelompok kajian, demonstrasi dan lain-lain, muncul sebagai bentuk reaksi warga kota terhadap terbatasnya ruang partisipasi yang diberikan oleh birokrasi kota.
Seiring dengan perkembangan dunia information and communication technology (ICT), ruang-ruang politik berpindah dari media konvensional ke media internet yang diyakini memiliki daya jangkau dan pengaruh yang lebih luas. Päivärinta dan Sæbø (2006) menyebutkan fenomena hadirnya   ICT sebagai media perdebatan politik dan pengambilan keputusan yang kemudian disebut sebagai e-democracy. Sebutan ini diciptakan baik untuk melengkapi atau kebalikan dari demokrasi konvensional yang dilaksanakan melalui pertemuan tatap muka langsung, dan bentuk konvensional lainnya. 
Dengan adanya e-democracy telah merubah konfigurasi politik warga kota yang semula mengandalkan mobilisasi massa dalam mempengaruhi kebijakan  menjadi mobilisasi opini di dunia maya yang kemudian di transfer dalam aksi yang lebih nyata.


E- Democracy: Partisipasi Politik Warga Kota Abad 21
Data statistik dari internetworldstats.com yang dirilis di akhir tahun 2009  menunjukan total pengguna internet dunia diestimasi mencapai 1,7 milyar atau lebih dari 25% dari total penduduk di muka bumi ini, dengan kontribusi pengguna internet Asia mencapai 48,8 % dari total pengguna internet Dunia.
Dari data tersebut juga terlihat perkembangan yang cukup signifikan dari pengguna internet di Indonesia. pada tahun 2000, tercatat penggunaan internet Indonesia diperkirakan mencapai 2 juta orang. Di akhir tahun 2009, tercatat pengguna internet di Indonesia sebanyak 30 juta jiwa atau 12,5% dari populasi Indonesia atau mengalami kenaikan sebesar 1150% dalam waktu 1 dekade. Pengguna internet di Indonesia mencakup 4,10 persen dari populasi Dunia.

Dari data yang dikeluarkan Kemenkominfo, pada tahun 2010 jumlah pengguna internet yang menggunakan perangkat mobile mencapai angka 40 juta jiwa. Hal ini didorong oleh semakin terjangkaunya harga layanan internet dari para operator seluler dan semakin banyaknya alternatif handheld device yang digunakan dengan harga yang semakin beragam.

Data Pengguna Internet (akhir 2009)

Populasi (2009)
% terhadap populasi dunia
Pengguna Internet (2000)
Pengguna Internet (2009)
% terhadap populasi
Pertumbuhan (2000 -2009)
% terhadap pengguna internet seluruh dunia
Dunia
          6,767,805,208
            1,733,993,741
26%
380.3%
Asia
          3,808,070,503
56%
               738,257,230
19%
549.90%
42.58%
Cina
          1,338,612,968
20%
        22,500,000
               360,000,000
27%
1500%
20.76%
Indonesia
              240,271,522
4%
          2,000,000
                  30,000,000
12%
1150%
1.73%
Malaysia
                25,715,819
0.38%
          3,700,000
                  16,902,600
66%
356.8%
0.97%
      Sumber : http://www.internetworldstats.com ,2009

E-democracy merupakan intrepetasi dari teori Habermas mengenai masyarakat komunikatif, public discourse dan public sphare. Tegaknya demokrasi dengan terjaminnya ruang publik yang netral, terbuka dan kolaboratif menciptakan wacana rasional yang berpengaruh pada proses-proses pembuatan kebijakan yanglegitimate dan rasional pula.
Pada saat seluruh simpul kelompok masyarakat dan individu dapat saling berinteraksi, berdiskusi dalam ruang publik maya (virtual public sphare) dan berkolaborasi dalam membuat keputusan maka muncullah apa yang disebut Electronic Democracy (e-democracy). Anis (2010) menyatakan E-democracy  sebagai konsep demokrasi yang muncul beberapa tahun belakangan  dan menjadi bentuk pelaksanaan demokrasi terpenting di masa depan dimana teknologi informasi menjadi alat yang efektif dalam pelaksanaan demokrasi yang utuh di masyarakat
Van Dijk (2000) dalam  Päivärinta dan Sæbø (2006) mengidentifikasi lima model penggunaan ICT dalam demokrasi; fungsi penyampaian amanat (informasi satu arah), berbagi informasi, pendaftaran (pusat pengumpulan informasi termasuk pemungutan suara) ,percakapan (bersifat dua arah atau lebih), dan konsultatif (deliberative) yang menekankan pada tindak politik otonom oleh warga dengan menggunakan kemampuan komunikasi horizontal dengan internet.
Berdasarkan situasi demikian, maka menarik untuk mengamati eksistensi warga di era e-democracy, terutama kaitannya dengan partisipasi dan hak politik warga kota. Era e- democracy telah mendefinisikan ulang hubungan antara penguasa dan warga kota  terutama dalam konteks politik warga dan birokrasi
Janoski (1998) menggunakan pendekatan yang sama dengan Max Webber dalam mengidentifikasi tipologi warga kota, yaitu administratif, referendum, republican dan deliberative. Pendekatan ini kemudian  digunakan oleh Smith (2000) untuk menghubungkan antara model kewarganegaraan dan masing-masing media e-government.

Administrative
Referendum
Republican
Deliberative
Konsep Warga Negara
Sistemik, Warga dilindungi oleh seperangkat peraturan dan hukum
Liberal; Warga lebih otonom dan mengawasi Pemerintah
Republican, Warga terikat oleh sistem nilai yang sama. Integrasi yang kuat; Warga memiliki perbedaan dengan Pemerintah
Deliberative,Neo Sosial dan secara ruitn masyarakat diajak diskusi isu-isu terkait, seperti 
Hubungan Pengambilan Kebijakan
Penyampaian informasi dilaksanakan dengan atau tanpa persetujuan warga
Tindakan dilaksanakan setelah adanya referendum
Tindakan dilaksanakan setelah ada konsultansi dengan warga
Tindakan dilaksanakan setelah dicapai kesepakatan dalam musyawarah
Teknologi
E-government,
Internet
protocols,
up/downloads
dan
online payment
E-voting, E-referendums
Dan
polling
Forums,
gateway
websites, public
debates,
konferensi
Dedicated
websites, debat online
       Sumber : Smith, 2006
Terkait dengan pelaksanaan e-democracy yang terjadi di beberapa kota di Indonesia serta hubungannya dengan ruang kota, salah satu contoh gerakan yang muncul di dunia maya dan kemudian mempengaruhi ruang kota  adalah Gerakan Indonesia Berkebun. Gerakan ini muncul dari media sosial twitter yang menggunakan id @JKTberkebun yang berawal dari keinginan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pertanian di tengah kota Jakarta. Gerakan ide yang berawal dari beberapa penggiat media sosial kemudian bergulir sehingga akhirnya berhasil diwujudkan pada bulan Februari 2011 di Kemayoran. Saat ini gerakan ini terlaksana di beberapa kota lain seperti Kota Padang, Bandung, dll. Aspirasi warga kota tentang penghijauan kota diakomodir dan diwujudkan sebagai bentuk pelengkap ataupun koreksi terhadap kebijakan Pemerintah Kota Jakarta yang tidak peka terhadap aspek ruang terbuka hijau (RTH).
Perkembangan teknologi  melahirkan kesempatan yang lebih luas untuk mendorong keikutsertaan Publik dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan kota. Warga  tidak semata-mata menggunakan ruang-ruang konsultasi publik konvensional dalam berperan aktif di proses penataan ruang. Pendekatan-pendekatan modern  dipergunakan sebagai bagian dari usaha memperluas spektrum partisipasi masyarakat.
Penguatan paritisipasi politik warga kota melalui media ICT merupakan reaksi alamiah dari kelompok warga dalam memperbesar pengaruh politik yang diberikan oleh Masyarakat. Tentunya e-democracy hanya salah satu bentuk repson warga terhadap  minimnya ruang partisipasi yang diberikan oleh birokrasi kota.
Pembangunan yang memperhatikan aspirasi dan karakter warganya diharapkan mampu menggali potensi kota dan membentuk karakter kota yang spesifik dan tidak tergantung kepada kapitalisme dan globalisasi. Warga yang peduli pada Kotanya akan bisa timbul dari kelompok Birokrasi yang peduli pada aspirasi warganya. 

Referensi
1.           Barbalet, Jack. 2010. Citizenship in Max Webber. Journal Of Classical Sociology; Volume 10  Number 3. SAGE Publications
2.     Fuad, Anis. 2010. Peran Social Media Networking for Gov 2.0 di Indonesia. Paper Dipresentasikan pada Seminar Nasional Konferensi Administrasi Negara III di Universitas Padjadjaran Bandung pada tanggal 7 Juli 2010.
3.    Tero Päivärinta and Øystein Sæbø. 2006. Model of E-Democracy. Communications of the Association for Information Systems: Vol. 17, Article 37. Diunduh di  http://aisel.aisnet.o
4.     Santoso, Jo. 2006. [Menyiasati] Kota Tanpa Warga. KPG dan Centropolis, Jakarta.
5.    Smith, Lauren-Monoyer. 2006. “How e-voting technology challenges traditional concepts of  citizenship: an analysis of French voting rituals”. Paper on  2006 conference on Electronic Voting. Diunduh di http://www.e-voting.cc/
6.     Webber, Max. 1966. The City.