Warga Kota dan
Demokrasi
Warga kota
sebagai elemen penting dari kota merupakan satu pendapat yang sulit dibantah.
Perkembangan sebuah kota dari masa ke masa dibentuk oleh interaksi dan
komunikasi antar warga baik secara individual ataupun kelompok. Pola hubungan
antar warga kota yang kemudian secara perlahan membentuk pola ruang dan
hubungan antar komponen pada sebuah kota dapat menentukan wajah kota dari masa
ke masa
Perkembangan
masing-masing kota dapat berbeda yang disebabkan oleh pola interaksi yang
dibangun dan kondisi masyarakat yang berbeda-beda di masing-masing daerah. Max
Webber (1985) menyebutkan bahwa kota dibentuk oleh proses perkembangan
kapitalisme dan merkantilisme, khususnya dalam bentuk hubungan perdagangan yang
secara perlahan-perlahan membentuk kelembagaan ekonomi dan politik di kota
tersebut.
Dalam perspektif
yang disampaikan Max Webber terdapat tiga konsep warga (citizenship), yaitu
- Warga sebagai kelompok
inklusif dari dari kelompok sosial yang didefinisikan melalui kesamaan
kepentingan ekonomi. Pada perspektif ini, Webber menerangkan bahwasanya
pembagian kelompok warga terdiri pada hak kepemilikan yang dimiliki.
Hak-hak khusus warga ditentukan oleh kepemilikan properti. Konsep ekonomi
warga berasal dari pengamatan Webber pada masyarakat di jaman pertengahan.
Hubungan antar warga terdefinisi sebagai hubungan penyedia pekerjaan dan
pekerja.
- Kewarganegaraan dalam
konteks politik yang menitikberatkan keanggotaan dalam sebuah Negara, yang
berkonotasi kepemilikan hak politik tertentu. Konsep ini
merupakan fondasi dasar dalam memahami politik kewarganegaraan dimana
sekelompok orang memiliki hak-hak khusus dalam melakukan tindakan-tindakan
politik, seperti pemilihan perwakilan dan keputusan lainnya. Biasanya hak
ini diberikan pada laki-laki di era Yunani Kuno.
- Kewarganegaraan merujuk
pada kelas Sosial yang dibedakan menurut dari orang yang dianggap memiliki
kelebihan property dan kebudayaan untuk membedakannya dari birokrasi atau
kelas rendah dan kelompok lain di luar lingkaran
Konsepsi warga
secara politik, ekonomi dan sosial yang di rumuskan oleh Max Webber didapatkan
dari pengamatannya terhadap sejarah kota-kota Jaman Kuno dan Pertengahan
di Eropa. Pada masa tersebut predikat warga mengikuti hak-hak khusus yang
diberikan kepada sekelompok orag atau individu yang memiliki kelebihan baik
secara ekonomi, sosial ataupun politik. Hak-hak tersebut biasanya terkait
dengan hak-hak politik pada awalnya seperti hak untuk memiliih dan dipilih, dan
lain-lain.
Konsepsi warga
kota merujuk pada kepemilikan atau keanggotaan yang menunjukkan hubungan
antar kota dan individu yang ada didalamnya, dengan adanya keanggotaan tersebut
maka diikuti oleh hak-hak politik terutama terkait dengan hubungan warga dan
birokrasi. Warga kota memiliki hak-hak secara politis untuk mengintervensi
setiap keputusan yang di susun oleh birokrasi kota, kalau dalam konteks yang
disampaikan oleh Webber dalam bentuk keterwakilan.
Berdasarkan
teori tersebut, maka tampak jelas peran vitalnya warga kota dalam menentukan
arah kebijakan pembangunan sebuah kota. Prinsip keterwakilan suara warga dalam
penyusunan kebijakan di era demokrasi saat ini sesuatu yang tidak mungkin di
pinggirkan.
Warga kota
selain memiliki hak, juga pula memiliki kewajiban. Kewajiban untuk mengikuti
norma dan peraturan yang berlaku pada sebuah kota. Hak-hak yang diberikan pada
warga kota merupakan sesuatu yang tidak dipisahkan dari keharusan
mengikuti norma-norma yang menyatu denganya.
Berdasarkan konsepsi yang disampaikan
Webber, maka dapat dipastikan pembangunan kota tanpa mengikutsertakan atau
memahami keinginan warga tidak mungkin dapat dicapai dengan optimal. Kota-kota
besar Dunia muncul sebagai pusat peradaban, teknologi, budaya, religi, ekonomi
dan lain sebagainya banyak berasal dari pembangunan yang memperhatikan kebutuhan,
aspirasi dan karakter warganya. Tidak dalam bentuk partisipasi simbolik yang
muncul dalam demokrasi prosedural, tetapi partisipasi proposional yang berasal
dari implementasi demokrasi substantif.
Jo Santoso
(2002) berpendapat bahwa saat ini pengembangan kota-kota di Indonesia tidak
memperhatikan warga sebagai elemen utama dalam melaksanakan pembangunan. Warga
kota saat ini disederhanakan menjadi angka-angka statistik yang menjadi
justifikasi teknokratis dalam melaksanakan Perencanaan. Beliau juga mengemukakan
bahwasanya konsep kota modern harus mampu memperkenalkan ruang privat dan ruang
publik yang penggunaannya ditentukan secara bersama. Ruang publik yang terbuka
menjadi sarana untuk menyemai tenggang rasa, toleransi, serta menghidupkan sisi
keberadaban manusia.
Kota sebagai
representasi dari kebudayaan sebuah Negara atau wilayah kemudian tidak
memunculkan karakter warganya. Yang kemudian muncul ke permukaan adalah
karakter kota yang merupakan representasi dari kepentingan kapitalisme dan
globalisme. Hak-hak warga kota kemudian dibatasi pada keterwakilannya oleh
anggota-anggota DPRD. Partisipasi warga terbatas pada dialog satu arah
berbentuk papan iklan atau media sosialisasi dalam bentuk pertemuan warga
prosedural. Hak-hak politik yang diberikan oleh birokrasi kota lebih bersifat
seremonial.
Kondisi dan
situasi yang kemudian menyebabkan masyarakat perkotaan di Indonesia, terutama
kota-kota besar, menciptakan ruang-ruang baru untuk menyalurkan aspirasi dan
hak politiknya. Ruang partisipasi seperti Seminar, kelompok kajian, demonstrasi
dan lain-lain, muncul sebagai bentuk reaksi warga kota terhadap terbatasnya
ruang partisipasi yang diberikan oleh birokrasi kota.
Seiring dengan
perkembangan dunia information and communication technology (ICT), ruang-ruang
politik berpindah dari media konvensional ke media internet yang diyakini
memiliki daya jangkau dan pengaruh yang lebih luas. Päivärinta dan Sæbø (2006)
menyebutkan fenomena hadirnya ICT sebagai media perdebatan politik
dan pengambilan keputusan yang kemudian disebut sebagai e-democracy. Sebutan
ini diciptakan baik untuk melengkapi atau kebalikan dari demokrasi konvensional
yang dilaksanakan melalui pertemuan tatap muka langsung, dan bentuk
konvensional lainnya.
Dengan adanya
e-democracy telah merubah konfigurasi politik warga kota yang semula
mengandalkan mobilisasi massa dalam mempengaruhi kebijakan menjadi
mobilisasi opini di dunia maya yang kemudian di transfer dalam aksi yang lebih
nyata.
E- Democracy:
Partisipasi Politik Warga Kota Abad 21
Data statistik
dari internetworldstats.com yang dirilis di akhir tahun 2009
menunjukan total pengguna internet dunia diestimasi mencapai 1,7 milyar atau
lebih dari 25% dari total penduduk di muka bumi ini, dengan kontribusi pengguna
internet Asia mencapai 48,8 % dari total pengguna internet Dunia.
Dari data tersebut juga terlihat perkembangan yang cukup signifikan dari pengguna internet di Indonesia. pada tahun 2000, tercatat penggunaan internet Indonesia diperkirakan mencapai 2 juta orang. Di akhir tahun 2009, tercatat pengguna internet di Indonesia sebanyak 30 juta jiwa atau 12,5% dari populasi Indonesia atau mengalami kenaikan sebesar 1150% dalam waktu 1 dekade. Pengguna internet di Indonesia mencakup 4,10 persen dari populasi Dunia.
Dari data yang dikeluarkan Kemenkominfo, pada tahun 2010 jumlah pengguna internet yang menggunakan perangkat mobile mencapai angka 40 juta jiwa. Hal ini didorong oleh semakin terjangkaunya harga layanan internet dari para operator seluler dan semakin banyaknya alternatif handheld device yang digunakan dengan harga yang semakin beragam.
Dari data tersebut juga terlihat perkembangan yang cukup signifikan dari pengguna internet di Indonesia. pada tahun 2000, tercatat penggunaan internet Indonesia diperkirakan mencapai 2 juta orang. Di akhir tahun 2009, tercatat pengguna internet di Indonesia sebanyak 30 juta jiwa atau 12,5% dari populasi Indonesia atau mengalami kenaikan sebesar 1150% dalam waktu 1 dekade. Pengguna internet di Indonesia mencakup 4,10 persen dari populasi Dunia.
Dari data yang dikeluarkan Kemenkominfo, pada tahun 2010 jumlah pengguna internet yang menggunakan perangkat mobile mencapai angka 40 juta jiwa. Hal ini didorong oleh semakin terjangkaunya harga layanan internet dari para operator seluler dan semakin banyaknya alternatif handheld device yang digunakan dengan harga yang semakin beragam.
Data Pengguna
Internet (akhir 2009)
Populasi (2009)
|
% terhadap populasi dunia
|
Pengguna Internet (2000)
|
Pengguna Internet (2009)
|
% terhadap populasi
|
Pertumbuhan (2000 -2009)
|
% terhadap pengguna internet seluruh dunia
|
|
Dunia
|
6,767,805,208
|
1,733,993,741
|
26%
|
380.3%
|
|||
Asia
|
3,808,070,503
|
56%
|
738,257,230
|
19%
|
549.90%
|
42.58%
|
|
Cina
|
1,338,612,968
|
20%
|
22,500,000
|
360,000,000
|
27%
|
1500%
|
20.76%
|
Indonesia
|
240,271,522
|
4%
|
2,000,000
|
30,000,000
|
12%
|
1150%
|
1.73%
|
Malaysia
|
25,715,819
|
0.38%
|
3,700,000
|
16,902,600
|
66%
|
356.8%
|
0.97%
|
Sumber : http://www.internetworldstats.com ,2009
E-democracy merupakan
intrepetasi dari teori Habermas mengenai masyarakat komunikatif, public
discourse dan public sphare. Tegaknya demokrasi dengan terjaminnya
ruang publik yang netral, terbuka dan kolaboratif menciptakan wacana rasional
yang berpengaruh pada proses-proses pembuatan kebijakan yanglegitimate dan
rasional pula.
Pada saat
seluruh simpul kelompok masyarakat dan individu dapat saling berinteraksi,
berdiskusi dalam ruang publik maya (virtual public sphare) dan berkolaborasi
dalam membuat keputusan maka muncullah apa yang disebut Electronic
Democracy (e-democracy). Anis (2010) menyatakan E-democracy
sebagai konsep demokrasi yang muncul beberapa tahun belakangan dan
menjadi bentuk pelaksanaan demokrasi terpenting di masa depan dimana teknologi
informasi menjadi alat yang efektif dalam pelaksanaan demokrasi yang utuh di
masyarakat
Van Dijk (2000)
dalam Päivärinta dan Sæbø (2006) mengidentifikasi lima model penggunaan
ICT dalam demokrasi; fungsi penyampaian amanat (informasi satu arah), berbagi
informasi, pendaftaran (pusat pengumpulan informasi termasuk pemungutan suara)
,percakapan (bersifat dua arah atau lebih), dan konsultatif (deliberative) yang
menekankan pada tindak politik otonom oleh warga dengan menggunakan kemampuan
komunikasi horizontal dengan internet.
Berdasarkan
situasi demikian, maka menarik untuk mengamati eksistensi warga di era
e-democracy, terutama kaitannya dengan partisipasi dan hak politik warga kota.
Era e- democracy telah mendefinisikan ulang hubungan antara penguasa dan warga
kota terutama dalam konteks politik warga dan birokrasi
Janoski (1998)
menggunakan pendekatan yang sama dengan Max Webber dalam mengidentifikasi
tipologi warga kota, yaitu administratif, referendum, republican dan
deliberative. Pendekatan ini kemudian digunakan oleh Smith (2000) untuk
menghubungkan antara model kewarganegaraan dan masing-masing media
e-government.
Administrative
|
Referendum
|
Republican
|
Deliberative
|
|
Konsep Warga Negara
|
Sistemik, Warga dilindungi
oleh seperangkat peraturan dan hukum
|
Liberal; Warga lebih otonom
dan mengawasi Pemerintah
|
Republican, Warga terikat
oleh sistem nilai yang sama. Integrasi yang kuat; Warga memiliki perbedaan
dengan Pemerintah
|
Deliberative,Neo Sosial dan
secara ruitn masyarakat diajak diskusi isu-isu terkait, seperti
|
Hubungan Pengambilan
Kebijakan
|
Penyampaian informasi
dilaksanakan dengan atau tanpa persetujuan warga
|
Tindakan dilaksanakan
setelah adanya referendum
|
Tindakan dilaksanakan
setelah ada konsultansi dengan warga
|
Tindakan dilaksanakan
setelah dicapai kesepakatan dalam musyawarah
|
Teknologi
|
E-government,
Internet
protocols,
up/downloads
dan
online payment
|
E-voting, E-referendums
Dan
polling
|
Forums,
gateway
websites, public
debates,
konferensi
|
Dedicated
websites, debat online
|
Sumber : Smith,
2006
Terkait dengan
pelaksanaan e-democracy yang terjadi di beberapa kota di Indonesia serta
hubungannya dengan ruang kota, salah satu contoh gerakan yang muncul di dunia
maya dan kemudian mempengaruhi ruang kota adalah Gerakan Indonesia
Berkebun. Gerakan ini muncul dari media sosial twitter yang menggunakan id
@JKTberkebun yang berawal dari keinginan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan
pertanian di tengah kota Jakarta. Gerakan ide yang berawal dari beberapa
penggiat media sosial kemudian bergulir sehingga akhirnya berhasil diwujudkan
pada bulan Februari 2011 di Kemayoran. Saat ini gerakan ini terlaksana di
beberapa kota lain seperti Kota Padang, Bandung, dll. Aspirasi warga kota
tentang penghijauan kota diakomodir dan diwujudkan sebagai bentuk pelengkap ataupun
koreksi terhadap kebijakan Pemerintah Kota Jakarta yang tidak peka terhadap
aspek ruang terbuka hijau (RTH).
Perkembangan
teknologi melahirkan kesempatan yang lebih luas untuk mendorong
keikutsertaan Publik dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
pembangunan kota. Warga tidak semata-mata menggunakan ruang-ruang
konsultasi publik konvensional dalam berperan aktif di proses penataan ruang.
Pendekatan-pendekatan modern dipergunakan sebagai bagian dari usaha
memperluas spektrum partisipasi masyarakat.
Penguatan
paritisipasi politik warga kota melalui media ICT merupakan reaksi alamiah dari
kelompok warga dalam memperbesar pengaruh politik yang diberikan oleh
Masyarakat. Tentunya e-democracy hanya salah satu bentuk repson warga
terhadap minimnya ruang partisipasi yang diberikan oleh birokrasi kota.
Pembangunan yang
memperhatikan aspirasi dan karakter warganya diharapkan mampu menggali potensi
kota dan membentuk karakter kota yang spesifik dan tidak tergantung kepada
kapitalisme dan globalisasi. Warga yang peduli pada Kotanya akan bisa timbul
dari kelompok Birokrasi yang peduli pada aspirasi warganya.
Referensi
1.
Barbalet, Jack.
2010. Citizenship in Max Webber. Journal Of Classical Sociology;
Volume 10 Number 3. SAGE Publications
2.
Fuad, Anis.
2010. Peran Social Media Networking for Gov 2.0 di Indonesia. Paper
Dipresentasikan pada Seminar Nasional Konferensi Administrasi Negara III di
Universitas Padjadjaran Bandung pada tanggal 7 Juli 2010.
3.
Tero Päivärinta and Øystein Sæbø. 2006. Model
of E-Democracy. Communications of the Association for Information Systems:
Vol. 17, Article 37. Diunduh di http://aisel.aisnet.o
4.
Santoso, Jo.
2006. [Menyiasati] Kota Tanpa Warga. KPG dan Centropolis, Jakarta.
5.
Smith, Lauren-Monoyer. 2006. “How e-voting technology
challenges traditional concepts of citizenship: an analysis of French
voting rituals”. Paper on 2006 conference on Electronic Voting.
Diunduh di http://www.e-voting.cc/
6.
Webber, Max.
1966. The City.
Love it. Nice post.
BalasHapusGood luck with the new blog.